Posted on: 01/16/21 at 11:00 am
Musik Rage Against The Machine (RATM) telah menjadi latar yang sangat pas untuk peristiwa sosial-politik yang gonjang-ganjing selama lima tahun terakhir ini. Band rap rock legendaris tersebut terpaksa harus mengurungkan rencana mereka untuk melakukan tur keliling Amerika Serikat (AS) tahun lalu, kalau jadi tentunya akan lebih seru. Kini mereka memberikan respons secara artistik terhadap gerakan keadilan rasial yang dihidupkan kembali melalui film dokumenter yang berjudul Killing in Thy Name.
Baca juga: Rage Against The Machine Tunda Tur Reuni di Amerika Utara Hingga 2021
Proyek film tersebut merupakan kolaborasi RATM dengan kolektif seniman internasional yang bernama The Ummah Chroma (yang diterjemahkan berarti “komunitas warna”), dan berusaha menjadi “jalan keluar dari fiksi yang dikenal sebagai dominasi warna kulit putih dan suatu sumber untuk penemuan”. Sebagian besar dari karya berdurasi 15 menit ini menampilkan rekaman seorang guru dan beberapa anak sekolah yang belajar tentang sejarah gelap perbudakan di Barat, peristiwa nyata yang nggak terhindarkan, dan konsep “putih” dalam konteks Amerika.
Lagu kebangsaan anti-kolonialis RATM, ‘Killing In The Name’, sering dipakai sampelnya di hampir seluruh bagian film, dan film ini diakhir oleh penampilan live RATM membawakan lagu tersebut. Film ini juga digabungkan dengan kutipan dari anggota RATM, yang berbagi pemikiran mereka tentang rasisme dan betapa integralnya itu dengan etos seni mereka. “Menulis lagu yang berisi tentang apa yang terjadi secara sosial dan politik bukanlah pilihan bagi kami,” kata bassis Tim Commerford (dikutip dari Loudwire). “Itu adalah kewajiban. Gue ingin menggunakan musik sebagai senjata dan mulai menghantam orang-orang tertentu”.
“Ibu gue (Mary Morello) adalah wanita kulit putih dengan suara radikal,” imbuh gitaris Tom Morello. “Selama tiga dekade dia adalah seorang guru progresif di sekolah menengah konservatif yang menginspirasi siswanya untuk menantang sistem, dalam tindakan dan perkataannya dia selalu mengajarkan bahwa rasisme nggak boleh diabaikan dan harus selalu dihadapi”.
Dramer Brad Wilk turut berkomentar, “Musik nggak akan ada tanpa politik. Saat kami memainkan suatu pertunjukan, jika ada sesuatu yang cocok untuk salah satu anak di antara penonton, (untuk) memulai perubahan itu, proses berpikir untuk diri mereka sendiri, itulah waktu paling potensial yang dimiliki Rage Against The Machine sebagai sebuah band”.
Baca juga: Para Demonstran Teriakkan Lagu Rage Against The Machine ke Agen Federal AS
Ok, bray, silakan tonton film dokumenternya di bawah ini dan pelajari lebih lanjut tentang The Ummah Chroma di halaman Facebook mereka.
Penerjemah & Editor: Dharma Samyayogi
Vote dengan tulis di kolom komentar di bawah! Caranya gampang, login terlebih dahulu ke akun Facebook atau Twitter lo atau bikin akun sebentar di Disqus.
Vote dengan tulis di kolom komentar di bawah! Caranya gampang, login terlebih dahulu ke akun Facebook atau Twitter lo atau bikin akun sebentar di Disqus.
Vote dengan tulis di kolom komentar di bawah! Caranya gampang, login terlebih dahulu ke akun Facebook atau Twitter lo atau bikin akun sebentar di Disqus.
Wahai Kaum ORI (Orang Rock Indonesia)! Selamat mendarat di Babak Ketiga Turnamen 32 Lagu Hard Rock & Heavy Metal Indonesia Klasik! Setelah tuju